Maret 2018


antarafoto-lbh-jakarta-di-kepung-massa-180917-adm-5-e1505699810864-696x385

Sejumlah petugas kepolisian menjaga sekelompok massa yang mengepung dan melakukan orasi di depan kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Minggu (17/9) malam. Acara “Asik Asik Aksi: Indonesia Darurat Demokrasi” ini berujung rusuh setelah sekelompok massa menuntut kantor LBH Jakarta ditutup dan terjadi bentrok dengan aparat kepolisian. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Makin sedikit negara campur tangan dalam urusan masyarakat, makin baik jadinya fungsi negara itu. ~ Robert Nozick

Saya sepakat bahwa negara (para pengurusnya) perlu kembali memperhatikan maksud demokrasi sebagai sebuah sistem. Sebab, jika negara dibiarkan mendefinisikannya secara serampangan, maka perwujudannya dalam bentuk kebijakan pun akan amburadul. Alih-alih demokratis, yang ada malah sebaliknya. Berantakan. Tak karuan.

Ketika negara mendefinisikan demokrasi sebagai “kuasa absolut”, misalnya, maka segala tindak-tanduknya pun akan dipandang absah. Atas nama stabilitas, kebebasan warga boleh dihilangkan. Juga, ketika negara hanya mendefinisikan demokrasi sebagai “legitimasi ke-mayoritas-an” belaka, maka yang lahir adalah “tirani mayoritas”. Demi kepentingan orang banyak, yang kecil-kecil halal dibungkam.

Tidak! Kita tak butuh lagi definisi kolot atas demokrasi seperti itu. Merujuk Perihal Demokrasi Robert A. Dahl (2001), setidaknya demokrasi mampu menghasilkan akibat-akibat yang diinginkan sebagai cita awalnya, seperti terhindarnya negara dari praktik tirani apa pun, menjunjung tinggi hak-hak asasi tiap manusianya, terjaganya kebebasan individu/sipil, serta terjaminnya hak menentukan nasib sendiri dari warga negaranya tanpa terkecuali.

Akibat-akibat di atas, di samping sebagai tolok ukur dari demokrasi sendiri, itu tertuju tiada lain guna mencapai apa yang juga jadi cita diadakannya sebuah negara, yakni perdamaian dan kemakmuran. Karenanya, niscaya bagi negara untuk kembali mewajah demokrasi dalam maknanya paling hakiki sebagaimana dirumuskan seorang guru besar emeritus Ilmu Politik pada Universitas Yale tersebut.

Mengapa itu perlu? Lihat saja bagaimana wajah negara kita akhir-akhir ini terkesan sangat mengkhawatirkan. Di mana-mana, rupa buruknya saja yang melulu tampil. Melalui aparatnya yang mungkin sedikit keparat, itu lagi-lagi ditunjukkan dengan memberangus kebebasan berpendapat, berekspresi, juga berkumpul dari warga-warganya.

Minggu malam (17/9) kabar duka kembali hadir. Sekitar 100 orang aktivis peserta diskusi dan pagelaran seni #DaruratDemokrasi terkepung di dalam kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia  (YLBHI), Menteng, Jakarta Pusat. Di luar gedung, puluhan massa yang mengklaim dari kelompok anti-komunis berunjuk rasa sejak pukul 21.30 WIB. Mereka berorasi meminta pihak YLBHI menghentikan acara diskusi.

Jelang tengah malam, massa bergerak dan berusaha masuk ke dalam gedung dan beberapa orang demonstran bahkan mulai melempari kantor YLBHI dengan batu dan botol. Kerusuhan tak terelakkan saat massa berteriak-teriak dan berusaha menerobos keamanan polisi. Bahkan, polisi yang berjaga juga menjadi sasaran lemparan batu dari massa.

Sehari sebelumnya, Sabtu (16/9), diskusi “Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/66” di tempat yang sama dibubarkan. Alasan? Lantaran panitia penyelenggara dinilai tidak memberi pemberitahuan (izin) ke pihak kepolisian. Dan, juga, konten diskusinya dianggap terlalu sensitif. Itu sebab kepolisian merasa wajib ambil tindakan berupa pembubaran.

Selintas, aparat negara ini agaknya tidak mau ambil pusing. Ketimbang harus menjaga segelintir orang yang itu dianggap meresahkan banyak pihak, mending memberangus yang segilintir saja lalu semua jadi aman. Lebih simpel. Tidak banyak risiko. Watak-watak yang sungguh memuakkan.

Meski punya alasan, alasan pembubaran diskusi ini sendiri sama sekali tak berdasar. Pertama, soal perizinan. Adakah “Izin Keramaian” dalam UU mengatur serta kegiatan diskusi, apalagi yang hanya mendatangkan 50 orang saja? Bukankah kegiatan yang harus mengantongi izin adalah kegiatan yang mendatangkan massa minimal 300 sampai 1.000 orang?

Lagi pula, dalam Juklap Kapolri Nomor Pol/02/XII/95 tentang perizinan dan pemberitahuan kegiatan warga, tak ada satu pun kegiatan berbau diskusi yang tercantum sebagai hal yang mesti mendapat perizinan sebelum penyelenggaraan. Pentas musik, wayang kulit, dan ketoprak, misalnya, apakah pertunjukan-pertujukan itu sama dan sebangun dengan kegiatan diskusi?

Penyampaian pendapat di muka umum (publik), seperti unjuk rasa/demonstrasi, pawai, dan mimbar bebas, toh semua ini juga tidak identik dengan kegiatan diskusi yang sifatnya lebih eksklusif. Terlebih massa yang diestimasikan hanya 50 orang saja. Ingat, 50 orang! Bukan ratusan hingga ribuan seperti aksi bela-bela itu!

Kedua, soal konten diskusi yang dipandang sensitif. Kontennya saja akan menimbulkan keresahan. Akan tetapi, sebagai negeri yang berlabel demokrasi, gagasan apa pun dari warga negaranya, mau itu meresahkan atau tidak, hendaknya sudah menjadi kewajiban negara untuk melindunginya. Apalagi keresahan itu sendiri hanya berdasar pada ketakutan belaka alias belum terbukti.

Jika pun terbukti meresahkan, tetap saja bahwa yang mesti negara jaga adalah jangan sampai ada pihak yang berusaha menghalang-halanginya. Kembali merujuk Dahl, di sinilah peran dan fungsi negara harus eksis. Inilah kondisi demokrasi yang tidak boleh tidak harus negara pertahankan, apa pun risikonya.

Terlepas dari itu, di era Jokowi-Jusuf Kalla, tentu aksi serupa bukan kali pertama itu yang pernah terjadi. Simak saja rilis Indeks Demokrasi Indonesia 2016. Di sana, Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya penurunan Indeks Demokrasi dari 72,82 poin di tahun 2015 menjadi 70,09 poin di tahun setelahnya. Artinya, ada penurunan sebesar 2,73 poin di pelbagai aspek, seperti kebebasan sipil, kebebasan berkumpul, hak-hak politik, kebebasan dari diskriminasi, dan lembaga demokrasi sendiri.

Di aspek kebebasan sipil, misalnya, terjadi penurunan sebesar 3,85 poin; kebebasan berkumpul, 3,86 poin; hak-hak politik, 0,52 poin; kebebasan dari diskriminasi, 0,17 poin; dan lembaga demokrasi, 4,82 poin. Berdasar data-data ini, tak salah jika netizen menggemparkan linimasa dengan tagar #DaruratDemokrasi.

Ya, itu benar adanya. Semakin besar intervensi negara ke dalam urusan-urusan masyarakat, semakin mewujud pula kondisi yang darurat itu—negeri darurat demokrasi dan sekarat demokrasi. Sebab, meminjam pendapat Robert Nozick di pembuka tulisan ini, makin sedikit negara campur tangan dalam urusan masyarakat, maka akan semakin baik jadinya fungsi negara itu. Sekali lagi, inilah kondisi demokrasi yang harus negara camkan.

Tapi, rasanya ini bawaan orok belaka. Semakin bangsa ini belajar dan membangun demokrasi sebagai sistem terbaik pengelolaan negara, selalu saja berujung pada fakta sebagai lawannya. Misalnya, ketika negeri ini baru menetapkan Demokrasi Parlementer atau Demokrasi Liberal (1950-1959), lalu Demokrasi Terpimpin ala Soekarno (1959-1966), hingga Demokrasi Pancasila di bawah rezim diktotar Soeharto (1967-1998), apa yang nyata selain nuansa antidemokrasi?

Lebih menyedihkan lagi ketika tahu bahwa penggantinya, yakni Demokrasi Reformasi (1998-sekarang), nyatanya belum juga mewujudkan demokrasi yang semestinya. Dan yang membuat lebih runyam lagi adalah bahwa bukan negara dan aparatnya saja yang berlaku antidemokrasi. Komunitas masyarakat (ormas) hingga organisasi mahasiswa pun ikut andil dalam memberangus hak paling fundamental dari warga-warga negara itu.

Lantas, kepada siapa lagi kita harus bertumpu jika tahu bahwa nyaris semua pihak justru turun tangan dalam membungkam kebebasan yang mestinya terjamin kuat dalam sistem demokrasi? Masih bisakah label demokrasi itu kita sematkan ke diri Negara Republik Indonesia kalau nyatanya hanya mewujud seperti itu? Jika ya, demokrasi macam apa yang sekiranya dianut? Sukar menerka.

Meski demikian, berpikir positif bahwa negara sebenarnya masih keliru memaknai demokrasi adalah hal yang tetap patut kita kedepankan. Dengan memandangnya demikian, setidaknya itu bisa jadi alasan bahwa kita masih harus “mengajari” negara apa dan bagaimana demokrasi harusnya berjalan.

Hemat kata, negara harus kita ingatkan bahwa dalam berdemokrasi, tak boleh ada pengekangan, tak diperkenankan ada pelarangan, terhadap apa dan siapa pun. Bahwa negara, yang punya fungsi dan peran sebagai pengarah kebijakan, harus sadar posisi bahwa ia hanya diperkenankan untuk menjaga kebebasan-kebebasan warga saja, terlebih yang sifatnya primordial.

Dengan begitu, darurat demokrasi bisa sedikit teredam. Sedikit saja. Tak perlu banyak-banyak untuk negeri yang masih harus banyak belajar menggunakan sistem demokrasi sebagai cara mengelolah negaranya ini.

Geotimes, 18 September 2017

Samsu-Rizal-Panggabean-500x385

Samsu Rizal Panggabean (31 Mei 1961 – 7 September 2017)

Kepergian Bang Rizal—sapaan akrab saya untuk Samsu Rizal Panggabean—menyadarkan saya akan satu hal. Bahwa ternyata pertemuan saya dengannya pada Sabtu Siang (12 Agustus) itu adalah yang pertama sekaligus jadi yang terakhir.

Kamis (7/9) sekitar pukul 05.20 WIB, fakta memilukan itu hadir. Setelah dirawat lanjutan pada Minggu (3/9) pasca operasi jantung, beliau akhirnya dinyatakan berpulang. Naasnya, ia tak hanya tinggalkan istri dan dua orang putra, tapi juga banyak pengagumnya seperti saya. Innalillah…

Ah, tak perlu kiranya mengungkit momen memedihkan itu terlalu jauh. Selain tak bernilai, mengingat itu hanya akan menambah pundi perih. Yang pergi biar berlalu. Kenang saja yang masih tertinggal. Begitu yang saya patrikan.

Tapi, entah mau menyebut diri sebagai yang beruntung atau sial; beruntung sebab sudah sempat ngopi bareng dengannya walau sesaat; sial karena itu adalah yang terakhir; saya tak tahu. Yang pasti, kesempatan langka itu memberi-menambah kesan tersendiri bagi saya, juga saya yakin bagi siapa-siapa yang pernah bertemu dengan beliau.

Maka, mungkin patut pula untuk sejenak menghatur terima kasih pada kawan Aceng Husni Mubarok. Berkat dia, akademisi yang sebelumnya saya kenal hanya lewat karya-karya tulisnya itu, pada akhirnya bisa saya temui. Melihatnya langsung. Tatap muka. Berbincang lepas.

Waktu itu, namanya ngopi, pertemuan kami bertiga hanya sekadar ajang bincang-bincang santai. Tak banyak hal serius yang jadi topik bahasan. Cukup bicara soal yang remeh-temeh. Yang tertanyakan darinya untuk saya pun seputar aktivitas keseharian, seperti “kuliah di mana”, “ambil jurusan apa”, dan lain sejenisnya.

Meski sesaat dan terkesan biasa-biasa, tapi ada hal utama yang dapat saya petik. Bahwa penghargaan saya sejak dulu atas dedikasi tingginya sebagai akademisi, terlengkapi secara apik dengan balutan kebersahajaan. Itu sangat nyata dan tampak pada dirinya. Ia hidup sewajar-wajarnya. Sederhana sekali untuk ukuran seorang “Guru Besar” di salah satu universitas ternama di Kota Pendidikan ini.

Dedikasi tanpa Batas

Bang Rizal memang dikenal sebagai akademisi yang punya dedikasi tinggi di bidang profesinya. Berposisi sebagai pengampuh keilmuan resolusi konflik, dedikasi tingginya itu ia tunjukkan, tidak saja sebatas pendiseminasian teori, tapi sekaligus memberikan contohnya langsung ke dalam praktik.

Tentu kita masih ingat kan bagaimana upayanya membebaskan 10 warga negara Indonesia yang pernah disandera kelompok separatis Filipina, Abu Sayyaf?

Memang, upaya pembebasan ini ditempuh dengan berbagai macam cara sebelumnya akhirnya buahkan hasil. Setidaknya, ada 5 tim yang berturut-turut berpacu dengan waktu hanya untuk membebaskan WNI yang merupakan awak kapal PT Patria Maritime Lines (PML); dibajak sejak 26 Maret 2016.

Di antara tim-tim itu, ada bentukan PT PML sendiri yang bertugas menjalin komunikasi awal  dengan penyandera; tim Kementerian Luar Negeri yang bertugas merajut hubungan diplomatis secara formal dengan pemerintah setempat; ada tim gabungan aparat intelelijen Indonesia-Filipina; tim bentukan Mayjen TNI Kivlan Zein sebagai pengkoordinir tim-tim lainnya; dan terakhir adalah bentukan Yayasan Sukma.

Di tim terakhir itulah nama Samsu Rizal Panggabean tertera. Bersama sahabatnya Ahmad Baidowi, pimpinan Sekolah Sukma Bangsa di Aceh, tim ini bisa dikatakan paling berpengaruh. Sebab, selain punya kecakapan berdiplomasi dengan kelompok Abu Sayyaf, tim ini juga dilengkapi dengan pemahaman luar-dalam soal terorisme di Filipina Selatan. Dan itu berdasar hasil penelitian Bang Rizal sebagai akademisi yang pernah menyelam jauh hingga ke sana.

Itu satu hal, belum lagi dedikasi lainnya yang Bang Rizal juga pernah tunjukkan dalam mengentaskan konflik-konflik di dalam negeri. Di Aceh, Ambon, Poso, dan konflik-konflik yang terbilang sulit untuk diretas jalan perdamaiannya oleh sebab berbalut sentimen SARA, nama Bang Rizal nyaris tak pernah absen.

Maka, wajar belaka ia berturut-berturut mendapat penghargaan di bidang profesinya ini. Mulai dari Satya Lencana Karya Satya dari Presiden, penghargaan pengabdian dari lingkungan akademik di mana ia mengajar selama kurang lebih 25 tahun, hingga penghargaan berupa kenaikan pangkat demi pangkat.

Tapi, bagi saya sendiri, semua yang terakhir itu toh tak penting untuk diketahui. Lumrah diberikan kepada siapa yang menunjukkan dedikasi tingginya di bidang profesinya masing-masing. Sementara yang terpenting dari itu semua, yang sekaligus patut saya jadikan teladan, adalah tentang kebersahajaan beliau.

Luwes dan Bersahaja

Dibenarkan oleh salah seorang koleganya—bertemu dengannya di rumah duka—bahwa Bang Rizal semasa hidupnya lebih dikenal paling bersahaja. Semisal, ia lebih gemar pakai vespa buntutnya ke mana-mana, terutama ke kampus untuk mengajar, ketimbang harus menggunakan mobil pribadi.

Jelas saja, perihal ini sangat jarang saya temui, terlebih pada yang punya posisi strategis di lingkungan kampus. Tapi, bisa jadi itu satu strategi menghindari macet saja, misalnya, atau mungkin karena kecintaan akutnya pada sang motor buntut. Entahlah.

Kebersahajaannya ini pun kian terlengkapi dengan keluwesannya bertemu siapa saja. Tak pandang bulu. Ini diceritakan mahasiswanya, bagaimana luwesnya sang dosen di saat banyak yang terlalu terpaku pada hal-hal yang berokratis belaka.

“Hanya beliau yang paling gampang kami temui untuk urusan akademik. Beliau selalu memberi kesempatan, selalu memastikan bahwa urusan keilmuan adalah utama.” Demikian pengakuan itu terlontar dari beberapa mahasiswanya yang saya temui di rumah duka kemarin.

Tambahnya, pun Bang Rizal dipandang sebagai orang paling teliti. Jangankan kekeliruan konsep atau perspektif dalam menilik suatu masalah, hingga ke hal-hal detail sekali pun, seperti kesalahan eja/tata bahasa, tetap Bang Rizal persoalkan.

“Meski kadang itu buat kami jengkel, tapi itu sangat membantu. Pelajaran berharga yang kami kenang dari beliau,” lanjutnya.

Koleganya yang lain, Hamid Basyaib, bahkan menyebut Bang Rizal sebagai orang yang tak ambisius, kecuali di bidang akademik. Tulis Hamid di salah satu catatan obituarinya untuk sang sahabatnya ini, Bang Rizal dipandang tak pernah sedikit pun mengesankan bahwa dirinya penting. Ia tak pernah menunjukkan ambisi politik maupun ekonomi, meski ia cukup paham bagaimana cara mencapainya.

Sungguh, lagi-lagi ada orang yang mengajarkan saya tentang bagaimana menjalani “hidup yang baik”. Bang Rizal adalah salah satu dari secuil sosok yang bisa saya teladani untuk urusan “yang baik” ini.

Duh! Rasanya baru kemarin kita ngopi bersama. Itu yang pertama, pun jadi yang terakhir. Selamat jalan, Bang Rizal. Damai di sana.

Geotimes, 8 September 2017